Sekarang kita belajar pembatal puasa dari matan Abi Syuja. Kali ini membahas pembatal puasa berupa makan dan minum atau semisal itu.
Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan,
وَالَّذِي يُفْطِرُ بِهِ الصَّائِمُ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ : مَا وَصَلَ عَمْدًا إِلَى الجَوْفِ أَوِ الرَّأْسِ وَالحُقْنَةِ فِي أَحَدِ السَّبِيْلَيْنِ وَالقَيْءُ عَمْدًا وَالوَطْءُ عَمْدًا فِي الفَرْجِ وَالإِنْزَالُ عَنْ مُبَاشَرَةٍ وَالحَيْضِ وَالنِّفَاسِ وَالجُنُوْنِ وَالإِغْمَاءِ كُلَّ اليَوْمِ وَالرِّدَّةِ
Yang membatalkan puasa ada 10 hal: (1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur, (4) muntah dengan sengaja, (5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan, (6) keluar mani karena bercumbu, (7) haidh, (8) nifas, (9) gila dan pingsan pada keseluruhan hari, (10) keluar dari Islam (murtad).
Kita akan menjelaskan hal di atas dari penjelasan para ulama sebagai berikut.
(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Ketiga hal di atas termasuk pembatal puasa menurut ulama Syafi’iyah.
Makan dan minum termasuk pembatal jika dilakukan dengan sengaja walau jumlah yang dikonsumsi sedikit. Begitu pula yang punya makna sama dengan makan dihukumi pula sebagai pembatal.
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal–menurut ulama Syafi’iyah–karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayah Al-Akhyar, hlm. 249.
Sedangkan orang yang makan dalam keadaan lupa, walau banyak, puasanya tidaklah batal. Demikian pendapat Imam Nawawi dengan berdalil pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan berpuasa lantas ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena Allah-lah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).
Sedangkan jika seseorang jahil (tidak tahu) akan haramnya makan saat puasa, maka apabila ia baru masuk Islam atau berada di pelosok suatu negeri yang tidak tahu akan ilmu ini, puasanya tidaklah batal. Jika tidak, maka puasanya barulah batal. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 250.
Komentar:
Mengenai pembahasan “al-jauf” ada berbagai pendapat di kalangan ulama madzhab. Kita ringkas saja menjadi dua macam pendapat:
1- Para ulama yang menyatakan bahwa pembatal puasa terjadi jika ada sesuatu yang diinjeksi melalui otak (rongga pada tenggorak kepala), melalui dubur atau semacamnya. Mereka menganggap bahwa saluran-saluran tadi bersambung dengan saluran pada organ dalam perut. Pendapat ini sebenarnya lemah karena penelitian kedokteran terkini membuktikan bahwa saluran-saluran tersebut tidak bersambung dengan organ dalam tubuh.
2- Para ulama yang menganggap “al-jauf” adalah organ dalam perut saja. Dan ada yang menganggap bahwa “al-jauf” bukan hanya organ dalam perut.
Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud “al-jauf” adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut saja. Alasan yang mendukung hal ini:
1- Yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah makruf di tengah-tengah kita, bukan dengan memakan batu dan uang dirham. Memakan seperti itu tidak dianggap makan sebagaimana maksud dalil. Oleh karenanya ketika pakar bahasa Arab mendefinisikan apa itu makan, mereka berkata, “Yang namanya makan itu sudah makruf”.
2- Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya menjadikan makan dan minum sebagai pembatal puasa karena keduanya bisa menguatkan dan mengenyangkan, bukan hanya sekadar memasukkan sesuatu ke perut.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang berpuasa dilarang makan dan minum karena keduanya dapat menguatkan tubuh. Padahal maksud meninggalkan makan dan minum di mana kedua aktivitas ini yang mengalirkan darah di dalam tubuh, di mana darah ini adalah tempat mengalirnya setan, dan bukanlah disebabkan karena melakukan injeksi atau bercelak.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 25:245). Jika demikian sebabnya, maka memasukkan sesuatu yang bukan makanan ke dalam perut tidaklah merusak puasa.
3- Pengertian makan menurut bahasa adalah dengan memasukkan makanan. Dalam Lisanul ‘Arab disebutkan,
أَكَلْتُ الطَّعَامَ أَكْلاً وَمَأْكَلاً
“Aku benar-benar makan dan yang dimakan adalah makanan.”
Ar-Ramaani dalam Al-Mishbah Al-Munir berkata,
الأَكْلُ حَقِيْقَةً بَلَعَ الطَّعَام بَعْدَ مَضْغِهِ، فَبَلَعَ الحَصَاة لَيْسَ بِأَكْلٍ حَقِيْقَةً
“Makan hakikatnya adalah memasukkan makanan setelah dikunyah. Jika yang dimasukkan adalah batu, maka itu sebenarnya tidak disebut makan.”
Dalam Al-Mufradhaat Al-Ashfahani disebutkan,
الأَكْلُ تَنَاوَلُ المَطْعَم
“Makan adalah mencerna makanan.”
Nukilan-nukilan pakar bahasa di atas menunjukkan bahwa makan hanyalah dimaksudkan jika yang dimasukkan itu makanan. Hal ini dikuatkan pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Puasa itu meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari, no. 1903). Lihat pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil dalam “Mufthirootu Ash-Shiyam Al-Mu’ashiroh”.
Masih berlanjut Insya-Allah tentang pembatal puasa dari matan Abu Syuja’. Nantikan pula bukunya akan segera terbit.
—
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com